Kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup setiap individu. Mulai dari hal kecil hingga tantangan besar, seperti tidak lolos Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), kegagalan kerap memicu rasa sedih dan kecewa. Perasaan negatif yang berkepanjangan ini dapat berujung pada stres dan mengganggu kualitas hidup. Oleh karena itu, membangun resiliensi sejak dini sangatlah penting.
Resiliensi, kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan, bukanlah sesuatu yang dibangun setelah kegagalan terjadi. Psikolog anak Gloria Siagian, M.Psi. dari Mykidz Clinic, menekankan pentingnya membangun fondasi resiliensi jauh sebelum anak menghadapi ujian besar seperti UTBK.
Memahami Realita UTBK: Langkah Awal Membangun Resiliensi
Membantu anak memahami realita UTBK bukan berarti memadamkan semangat mereka. Justru sebaliknya, hal ini membantu anak mengerti bahwa tidak semua hal berada dalam kendali mereka. Anak perlu diajarkan bahwa usaha maksimal tetap mungkin tidak menjamin hasil yang diinginkan.
Menjelaskan hal ini sebelum UTBK sangat penting. Dengan demikian, saat hasil UTBK tidak sesuai harapan, anak tidak akan terlalu terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan. Orang tua pun dapat lebih mudah memvalidasi perasaan anak dan mengapresiasi usaha mereka.
Orang tua dapat mengungkapkan pemahaman atas kekecewaan anak, mengakui kerja keras dan waktu yang telah mereka curahkan. Hal ini membantu anak merasa perjuangannya dihargai, sehingga membangun resiliensi menghadapi kegagalan.
Pentingnya Peran Orangtua dalam Membangun Resiliensi Anak
Orangtua berperan krusial dalam membangun resiliensi anak. Mereka perlu secara konsisten menyampaikan pesan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Proses ini membutuhkan pengulangan yang berkelanjutan, bukan hanya disampaikan sekali saja.
Pesan ini harus diinternalisasi anak agar mereka tidak melihat kegagalan sebagai sebuah bencana. Dengan demikian, saat menghadapi kegagalan di masa depan, mereka mampu menghadapi dan bangkit dengan lebih mudah. Sikap optimis dan tangguh ini menjadi bekal penting bagi anak dalam menghadapi berbagai tantangan hidup.
Proses membangun resiliensi harus dimulai sejak dini, bukan hanya ketika anak menghadapi ujian-ujian besar seperti UTBK. Sejak kecil, anak perlu dilatih untuk menghadapi kegagalan kecil, belajar dari kesalahan, dan mencoba lagi.
Membangun Resiliensi Anak Sejak Dini: Strategi Praktis
Membangun resiliensi anak bukan pekerjaan instan. Dibutuhkan kesabaran dan konsistensi dari orang tua dalam menanamkan nilai-nilai positif dan strategi menghadapi kegagalan. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan:
- Dorong anak untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka. Hal ini membantu anak menemukan jati diri dan membangun kepercayaan diri.
- Ajarkan anak untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Berikan kesempatan anak untuk mencoba mengatasi tantangan sendiri, namun tetap berikan bimbingan dan dukungan.
- Berikan pujian atas usaha, bukan hanya hasil. Ini membantu anak fokus pada proses belajar dan berkembangan, bukan hanya hasil akhir.
- Bantu anak mengenali dan mengelola emosi mereka. Ajarkan anak untuk mengidentifikasi perasaan mereka, dan bagaimana cara menghadapinya dengan sehat.
- Modelkan sikap resilien. Anak belajar banyak dari mengamati orangtua mereka. Tunjukkan bagaimana Anda mengatasi tantangan dan bangkit dari kegagalan.
Dengan konsistensi dan pendekatan yang tepat, orang tua dapat membantu anak membangun resiliensi yang kuat. Resiliensi ini akan menjadi bekal berharga bagi anak dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan, membantu mereka tumbuh menjadi individu yang tangguh dan sukses. Kegagalan bukan akhir segalanya, melainkan peluang untuk belajar dan berkembang.