Istilah “brain rot” atau pembusukan otak belakangan ramai diperbincangkan. Kondisi ini menggambarkan penurunan kemampuan mental akibat terlalu banyak mengonsumsi konten dangkal di media sosial. Para ahli mulai menyoroti dampaknya, terutama pada anak-anak dan remaja yang otaknya masih berkembang.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran. Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk scroll media sosial dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif. Dampaknya dapat terlihat dalam berbagai gejala, seperti penurunan konsentrasi dan kemampuan mengatur diri sendiri.
Dampak ‘Brain Rot’ pada Kesehatan Mental
Dr. Costantino Iadecola, ahli saraf dari Weill Cornell Medicine, menjelaskan dampak serius “brain rot”. Ia menekankan bahwa paparan konten yang tidak menantang secara kognitif dapat mengganggu perkembangan otak, khususnya pada anak-anak dan remaja.
Penggunaan media sosial yang berlebihan dikaitkan dengan gejala seperti “brain fog” atau kabut otak. Kondisi ini ditandai dengan kesulitan berkonsentrasi, daya ingat menurun, dan penurunan kemampuan berpikir jernih.
Gejala dan Ciri-Ciri ‘Brain Rot’
Meskipun penelitian tentang “brain rot” masih terbatas, sebuah studi di Brain Sciences (awal 2025) mengidentifikasi beberapa faktor penyebab. Faktor-faktor tersebut meliputi waktu layar yang berlebihan, kecanduan media sosial, dan kelebihan informasi yang tidak terolah secara efektif.
Studi tersebut juga menyebutkan beberapa gejala yang mungkin muncul. Gejala-gejala tersebut meliputi gangguan memori jangka pendek, kesulitan fokus, rentang perhatian yang menurun, impulsif, dan kecenderungan untuk mencari kepuasan instan.
Gejala-gejala ini mirip dengan kelelahan dan depresi. Namun, penting untuk diingat bahwa “brain rot” bukanlah diagnosis medis resmi. Kondisi ini lebih tepat dilihat sebagai gejala yang terkait dengan perilaku penggunaan media sosial yang tidak sehat.
Mitos atau Realita? Memahami Fenomena ‘Brain Rot’
Profesor sosiologi Marci Cottingham, PhD, dari Kenyon College, merasakan dampak “brain rot” secara langsung. Ia mengalami penurunan konsentrasi dan fungsi kognitif setelah menghabiskan waktu berjam-jam di TikTok.
Cottingham melihat munculnya istilah ini sebagai refleksi dari perubahan sosial dan budaya terkini. Ia berpendapat bahwa istilah “brain rot” mencerminkan keresahan masyarakat terhadap kurangnya arah dan tujuan yang jelas dalam kehidupan.
Meskipun masih butuh penelitian lebih lanjut, para ahli sepakat bahwa “brain rot” adalah fenomena psikologis yang kompleks. Ia bukan sekadar kondisi medis, melainkan cerminan dari interaksi antara penggunaan teknologi, kesehatan mental, dan konteks sosial. Oleh karena itu, penting untuk lebih bijak dalam mengelola penggunaan media sosial dan mencari kegiatan yang lebih merangsang secara kognitif. Penting untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan teknologi dan aktivitas yang bermanfaat bagi perkembangan otak dan kesehatan mental.