Perundungan atau bullying di lingkungan pendidikan kedokteran di Indonesia ternyata masih menjadi masalah serius. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, membenarkan adanya praktik ini dan mengaitkannya dengan beban kerja serta minimnya insentif bagi para dokter.
Pernyataan ini disampaikan Prof. Ari dalam konferensi pers di FKUI Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (12/6/2025). Ia menekankan pentingnya mengatasi akar permasalahan ini untuk mengurangi angka perundungan.
Beban Kerja Berat dan Minimnya Insentif Jadi Pemicu Bullying
Menurut Prof. Ari, tingginya beban kerja yang dialami dokter senior menjadi salah satu faktor utama penyebab perilaku bullying. Mereka merasa terbebani oleh tuntutan pekerjaan di rumah sakit.
Kurangnya insentif atau penghargaan finansial juga berperan besar. Hal ini membuat para dokter senior merasa tidak diapresiasi atas kerja keras mereka, sehingga memicu tindakan bullying kepada junior.
Padahal, insentif bagi mahasiswa kedokteran yang bertugas di rumah sakit sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023. Namun, hingga saat ini implementasinya masih berupa wacana.
Prof. Ari optimistis bahwa jika masalah insentif dapat diatasi oleh pemerintah, maka angka bullying di lingkungan pendidikan kedokteran dapat ditekan secara signifikan.
FKUI Berkomitmen Nol Toleransi Terhadap Bullying
Di sisi lain, FKUI sendiri telah lama berkomitmen untuk memberantas praktik bullying di lingkungan kampus. Mereka menerapkan kebijakan “zero tolerance” terhadap segala bentuk perundungan.
Komitmen ini telah dijalankan sejak tahun 2018. FKUI menegaskan tidak mentolerir tindakan bullying dari siapa pun, baik dari tenaga pendidik, staf pengajar, maupun senior terhadap junior.
Pihak FKUI menyatakan akan menindak tegas setiap pelaku bullying yang teridentifikasi. Sanksi tegas akan diberikan tanpa pandang bulu.
Solusi Mengatasi Bullying di Pendidikan Kedokteran
Untuk mengatasi masalah bullying di lingkungan pendidikan kedokteran, diperlukan pendekatan multi-faceted. Pertama, pemerintah perlu segera merealisasikan pemberian insentif bagi mahasiswa kedokteran yang bertugas di rumah sakit, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada.
Kedua, perlu ditingkatkannya program edukasi dan pelatihan tentang etika profesi dan manajemen stres bagi seluruh civitas akademika. Ini penting untuk menciptakan budaya kerja yang sehat dan saling menghormati.
Ketiga, perlu adanya mekanisme pelaporan dan penanganan kasus bullying yang efektif dan transparan. Korban bullying harus merasa aman dan terlindungi untuk melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa takut akan pembalasan.
Keempat, perlu kerjasama yang kuat antara pihak kampus, rumah sakit, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan belajar dan bekerja yang aman dan kondusif bagi seluruh mahasiswa kedokteran.
Dengan pendekatan komprehensif ini, diharapkan praktik bullying dapat diatasi secara efektif dan menciptakan lingkungan pendidikan kedokteran yang lebih sehat dan produktif.
Kesimpulannya, permasalahan bullying di pendidikan kedokteran merupakan isu serius yang membutuhkan perhatian dan penanganan segera dari berbagai pihak. Komitmen “zero tolerance” dari institusi pendidikan seperti FKUI, dibarengi dengan dukungan pemerintah dalam hal insentif dan peningkatan kesejahteraan dokter, serta edukasi yang komprehensif, menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari perundungan.