Indonesia, negara dengan kekayaan hayati melimpah, menyimpan potensi besar dalam bidang pengobatan. Lebih dari 20.000 spesies tumbuhan telah teridentifikasi, dan sekitar 200 spesies telah dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku obat alami maupun sintetis. Namun, pemanfaatan potensi ini masih terhambat oleh sejumlah faktor.
Minimnya ahli botani dan farmakognosi, cabang ilmu farmasi yang mempelajari bahan alami, menjadi kendala utama. Hal ini menyebabkan identifikasi dan pengembangan obat alami di Indonesia belum optimal.
Kekayaan Tumbuhan Obat Indonesia dan Tantangannya
Dr. Yosi Bayu Murti, M.Si., dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan bahwa banyak tumbuhan di Indonesia yang belum dieksplorasi secara menyeluruh. Padahal, tumbuhan tersebut berpotensi besar sebagai bahan baku obat.
Indonesia juga menghadapi tantangan penurunan industri manufaktur bahan baku tumbuhan, ekstrak, dan produk sediaan. Meskipun bahan bakunya berasal dari tumbuhan, industri pengolahannya masih menghadapi berbagai kendala.
Bayu menjelaskan, perusahaan jamu, misalnya, menghadapi masalah ketergantungan pada musim dalam proses produksi. Kualitas bahan baku juga masih menjadi tantangan.
Tanaman obat yang digunakan sebagai bahan baku jamu perlu didorong untuk bertransformasi menjadi obat modern. Namun, proses ini membutuhkan waktu yang panjang dan memerlukan penyediaan bahan baku berkualitas serta sertifikasi Obat Bahan Alam (OBA) terstandar.
Mendukung Pemanfaatan Obat Bahan Alam (OBA)
Untuk mendorong pemanfaatan OBA, diperlukan perubahan regulasi yang memudahkan pengembangannya di kalangan dokter dan apoteker. Kolaborasi antar pihak terkait juga sangat penting.
Kerjasama antara peneliti OBA dan industri juga krusial. Hal ini meliputi pemahaman dan penerapan standarisasi dari hulu hingga hilir. Kesepahaman antara peneliti dan regulator OBA juga perlu dibangun.
Pertumbuhan pasar OBA cukup pesat. Hingga pertengahan 2024, nilai produksi mencapai Rp 3 triliun. Pangsa pasar OBA pada tahun 2023 mencapai 7-10 persen dari total pasar obat nasional.
Nilai ekspor OBA dari Januari hingga September 2024 mencapai 639,42 juta dolar AS. Data ini menunjukkan ekspansi yang tinggi dalam industri OBA di Indonesia.
Tantangan Transformasi OBA Menjadi Obat Modern
Michael Heinrich, peneliti Etnofarmakologi dan Farmakognosi dari University College London, mengungkapkan beberapa tantangan dalam transformasi OBA menjadi obat modern. Prosesnya panjang dan memakan waktu serta biaya yang signifikan.
Ekstrak sebagai bahan aktif menimbulkan tantangan unik, dan produktivitasnya menjadi masalah jika dibandingkan dengan bahan senyawa sintetis. Protokol Nagoya dan peraturan terkait juga sangat ketat.
Kompleksitas disiplin ilmu yang terlibat juga menjadi kendala. Selain itu, kekurangan ahli botani dan farmakognosi semakin memperberat tantangan ini.
Aturan yang ketat membuat ekstrak OBA sulit disetujui sebagai obat. Sebagai solusi alternatif, produk suplemen makanan dan obat-obatan alami (jamu) dapat menjadi pilihan.
Kesimpulannya, Indonesia memiliki potensi besar dari kekayaan hayati untuk pengembangan obat alami. Namun, tantangan berupa kurangnya ahli, regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, dan proses pengembangan yang panjang, perlu diatasi secara kolaboratif agar potensi tersebut dapat dioptimalkan demi kemajuan industri farmasi nasional.