Penggunaan media sosial di Indonesia rupanya memiliki hubungan erat dengan pola konsumsi makanan dan peningkatan gangguan makan, terutama di kalangan remaja. Temuan ini cukup mengkhawatirkan mengingat dampaknya yang serius bagi kesehatan fisik dan mental generasi muda. Penelitian terbaru mengungkap fakta mengejutkan terkait hal ini.
Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kencana Sari, mengungkapkan korelasi signifikan antara penggunaan media sosial dan gangguan makan pada remaja. Data dari Global Burden of Disease (GBD) WHO tahun 2022 menunjukkan tingginya angka gangguan kesehatan mental global, termasuk gangguan makan yang mencapai 14 juta kasus. 20 persen kasus tersebut terjadi pada anak dan remaja.
Kaitan Media Sosial dan Gangguan Makan pada Remaja
Remaja merupakan kelompok usia yang sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental, termasuk gangguan makan. Kesadaran akan kesehatan mental memang semakin meningkat, namun gangguan makan sering kali luput dari perhatian dan diagnosis. Padahal, dampaknya sangat serius, mulai dari kekurangan gizi hingga obesitas. Hal ini diperparah oleh kompleksitas penyebab gangguan makan, meliputi faktor psikologis, sosiodemografi, dan lingkungan.
Kencana Sari menjelaskan bahwa mekanisme pasti gangguan makan, khususnya *binge eating disorder*, masih menjadi tantangan bagi kesehatan masyarakat. Penelitiannya bertujuan untuk menganalisis gangguan makan pada remaja dan mengidentifikasi faktor-faktor penentu yang berpengaruh.
Jenis-jenis Gangguan Makan
Berdasarkan klasifikasi International Classification of Diseases 10th Revision (ICD-10) dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), beberapa jenis gangguan makan meliputi:
* **Anorexia Nervosa:** Ditandai dengan pembatasan asupan makanan yang ekstrem dan ketakutan berlebihan terhadap kenaikan berat badan. Gejalanya antara lain kepadatan tulang rendah, tekanan darah rendah, detak jantung tidak teratur, dan kelemahan tubuh.
* **Bulimia Nervosa:** Meliputi perilaku berulang dan tidak tepat untuk menghindari penambahan berat badan, seperti memuntahkan makanan atau menghindari makanan agar tidak diproses tubuh. Gejala yang muncul mencakup masalah lambung, pipi bengkak, menstruasi tidak teratur, kelemahan, dehidrasi, dan mata merah.
* **Binge Eating Disorder (BED):** Ditandai dengan makan berlebihan dalam waktu singkat dibandingkan orang kebanyakan dalam situasi yang sama. Frekuensi makan berlebihan bergantung pada tingkat keparahan gangguan. Dampak jangka panjangnya cukup serius, meliputi diabetes, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penyakit jantung, dan penyakit tidak menular lainnya.
* **Gangguan Makan Lainnya:** Kategori ini mencakup berbagai gangguan makan yang tidak termasuk dalam tiga kategori di atas.
Faktor Risiko dan Pencegahan
Hasil penelitian Kencana menunjukkan beberapa variabel yang berhubungan signifikan dengan gangguan makan pada remaja, antara lain status gizi, citra tubuh (*body image*), jumlah akun media sosial, dan perilaku sebagai pengguna pasif media sosial. Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa perilaku pengguna pasif media sosial dan jumlah akun media sosial merupakan faktor dominan.
Pengguna pasif media sosial memiliki *odds ratio* sekitar 1,8, artinya risikonya 1,8 kali lebih tinggi terkena gangguan makan. Kesimpulannya, sekitar sepertiga remaja mengalami gangguan makan, dengan faktor risiko utama adalah banyaknya akun media sosial dan penggunaan media sosial secara pasif. Edukasi, pembatasan akun, kurasi konten yang lebih baik, dan kebijakan kesehatan yang komprehensif sangat diperlukan untuk mencegah dan mengatasi masalah ini sebelum berdampak lebih serius.
Studi ini menyoroti pentingnya peran media sosial dalam kesehatan mental remaja. Penting bagi orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan kesadaran dan mengambil langkah-langkah proaktif dalam melindungi kesehatan mental remaja di era digital ini. Intervensi dini dan dukungan yang tepat sangat krusial untuk mencegah dampak negatif yang lebih luas.