Pernahkah Anda merasakan sensasi seolah-olah melayang di luar tubuh sendiri? Melihat diri Anda dari sudut pandang orang lain, seperti roh yang mengamati? Fenomena ini, yang dikenal sebagai *out-of-body experience* (OBE) atau pengalaman keluar dari tubuh, lebih umum terjadi daripada yang kita kira. Studi terbaru membongkar mitos seputar OBE dan memberikan pemahaman baru tentang pengalaman unik ini.
Pengalaman keluar dari tubuh (OBE) seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa. Namun, penelitian terbaru justru menunjukkan sebaliknya.
Mitos dan Realitas Pengalaman Keluar dari Tubuh
Sebuah penelitian dari University of Virginia School of Medicine melibatkan lebih dari 500 orang dewasa. Hasilnya mengejutkan. OBE ternyata bukan selalu indikasi masalah mental. Sebaliknya, OBE bisa menjadi mekanisme pertahanan otak terhadap trauma atau tekanan emosional berat. Dr. Marina Weiler, ahli saraf yang memimpin studi ini, menjelaskan banyak penderita OBE memilih diam karena takut dianggap gila. Sayangnya, banyak profesional kesehatan mental masih keliru menganggap OBE sebagai gejala gangguan, bukan mekanisme adaptasi.
OBE: Bentuk Pertahanan Diri dari Trauma
Studi ini mengungkapkan fakta mengejutkan. Lebih dari 70 persen responden menilai OBE berdampak positif pada hidup mereka. Sekitar 40 persen bahkan menyebutnya sebagai pengalaman terbaik dalam hidup. Banyak yang merasa lebih damai, lebih terbuka secara spiritual, dan lebih siap menghadapi kematian. Hal ini menunjukkan potensi manfaat psikologis yang tak terduga dari pengalaman yang terkesan mistis ini.
Data dikumpulkan melalui survei daring pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas. Responden ditanya tentang pengalaman OBE dan riwayat kesehatan fisik dan mental mereka. Sebagian besar pengalaman OBE terjadi saat masa kanak-kanak, dan sebagian besar bersifat spontan, bukan dipicu meditasi, zat psikoaktif, atau hipnosis.
Trauma Masa Kecil dan OBE
Meskipun responden dengan OBE menunjukkan angka lebih tinggi dalam diagnosis gangguan kesehatan mental, penelitian tidak menyimpulkan OBE sebagai penyebabnya. Justru, trauma masa kecil sangat umum dijumpai pada kelompok ini. Peneliti mengajukan hipotesis baru: OBE bisa jadi respon disosiatif, di mana otak memisahkan diri dari kenyataan yang terlalu menyakitkan.
Dengan demikian, OBE bukan masalah yang perlu dihilangkan, melainkan sinyal adanya luka emosional yang perlu disembuhkan. Fokus penelitian bergeser dari OBE itu sendiri ke akar masalahnya: trauma dan stres yang belum terselesaikan.
Mengubah Pandangan tentang OBE dan Kesehatan Mental
Temuan ini membuka jalan baru bagi profesional kesehatan mental dalam menangani pasien dan memahami pengalaman psikologis yang tidak biasa. Pemahaman masyarakat umum juga perlu berubah. Mengalami OBE bukan berarti “gila” atau sakit jiwa. Itu bisa jadi cara otak melindungi diri dari hal-hal yang tak sanggup dihadapi secara sadar.
Dengan menghilangkan stigma, lebih banyak orang akan berani mencari bantuan. Komunitas pendukung dapat terbangun, dan pendekatan yang lebih manusiawi dalam dunia kesehatan mental dapat dikembangkan. Penting untuk memahami OBE sebagai potensi mekanisme koping, bukan sebagai tanda penyakit mental. Ini menuntut pendekatan holistik dan empatik dalam menangani kondisi psikologis kompleks. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk sepenuhnya memahami mekanisme OBE dan mengembangkan intervensi yang tepat.