Tragedi memilukan menimpa remaja 16 tahun, Elijah ‘Eli’ Heacock, di Kentucky, Amerika Serikat. Eli ditemukan meninggal dunia akibat luka tembak, diduga bunuh diri. Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan unsur pemerasan seksual digital (sextortion) yang memanfaatkan kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Kematian Eli menjadi bukti nyata bahaya laten teknologi AI yang semakin canggih. Kemampuan AI dalam menciptakan citra yang sangat realistis dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan aksi pemerasan yang berujung pada kematian seorang anak muda.
Sextortion dengan Ancaman Foto Rekayasa AI
Pada Februari 2025, Eli menerima pesan ancaman anonim yang berisi foto-foto dirinya tanpa busana. Pelaku mengancam akan menyebarkan foto tersebut kepada keluarga dan teman-teman Eli jika tidak diberi uang sebesar US$3.000 (sekitar Rp 48,8 juta).
Yang mengejutkan, foto-foto tersebut ternyata hasil rekayasa AI, bukan foto asli. Belum dipastikan apakah Eli menyadari kepalsuan foto tersebut, namun tekanan psikologis yang ditimbulkan cukup kuat hingga menyebabkannya mengambil langkah ekstrem.
Orang tua Eli, Shannon Heacock dan John Burnett, menemukan pesan-pesan ancaman dan foto tersebut di ponsel Eli setelah ia meninggal di rumah sakit. Mereka baru menyadari skenario mengerikan yang menimpa anak mereka.
Investigasi Kasus dan Peran FBI
Setelah menemukan bukti di ponsel Eli, pihak kepolisian setempat, Kantor Sheriff Barren County, merekomendasikan kasus ini ditangani FBI. Kasus ini diduga kuat merupakan sextortion, kejahatan siber yang semakin marak terjadi.
Ibu Eli, Shannon Heacock, mengungkapkan kepada News Channel 10 bahwa pelaku terus meminta uang meskipun Eli telah mengirimkan sejumlah uang. “Orang ini meminta 3.000 dolar dari seorang anak. Dan sekarang, kami harus mengeluarkan lebih dari 30.000 dolar untuk biaya pemakaman dan rumah sakit anak kami,” ujarnya.
Ayah Eli, John Burnett, kepada ABC News mengungkapkan ketidaktahuan mereka tentang sextortion sebelumnya. Mereka baru menyadari betapa bahayanya kejahatan ini setelah tragedi menimpa keluarga mereka.
AI: Kemudahan dan Ancaman Terselubung
Kejahatan ini semakin meresahkan karena pelaku tidak membutuhkan foto asli korban. Teknologi AI memungkinkan pembuatan gambar yang sangat realistis, menjadikannya alat yang efektif untuk pemerasan.
John Burnett menekankan betapa terorganisirnya pelaku kejahatan ini. “Mereka punya dana, mereka gigih, dan mereka tidak butuh foto asli. Mereka bisa membuat apa saja dengan AI dan menggunakannya untuk memeras anak,” tegasnya.
FBI menyatakan bahwa kasus sextortion terhadap anak-anak dan remaja meningkat drastis. Pelaku mengancam menyebarkan konten seksual jika korban tak memberikan uang atau voucher hadiah, dan seringkali tetap menyebarkan konten tersebut meski telah menerima uang.
Tekanan mental yang luar biasa dari ancaman ini telah menyebabkan banyak korban bunuh diri, seperti yang dialami Eli. Kasus ini menjadi pengingat penting tentang bahaya sextortion di era digital.
Orang tua Eli berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, termasuk orang tua, pendidik, pemerintah, dan industri teknologi. Mereka menyerukan tindakan pencegahan dan edukasi untuk melindungi anak-anak dari ancaman sextortion.
Kejadian ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. AI menawarkan banyak kemudahan, namun potensi penyalahgunaannya untuk kejahatan, seperti sextortion, sangat nyata dan mengancam. Edukasi dan kesadaran publik menjadi kunci untuk menghadapi ancaman ini di era digital yang semakin kompleks.
Semoga kisah tragis Eli dapat menjadi peringatan bagi kita semua akan pentingnya kewaspadaan dan edukasi tentang kejahatan siber, khususnya sextortion yang memanfaatkan kecanggihan teknologi AI. Perlindungan anak dan remaja dari ancaman ini memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, dan penegak hukum.