Bayangkan hidup dengan aroma tubuh yang tak sedap, menusuk hidung, dan membuat Anda menjadi sasaran ejekan dan perundungan selama bertahun-tahun. Itulah realita pahit yang dialami Carmen Corr-Davies, seorang wanita asal Inggris yang menderita trimethylaminuria (TMAU), sebuah kondisi langka yang membuatnya tubuhnya berbau busuk.
Sejak remaja, Carmen harus berjuang melawan stigma dan isolasi sosial akibat kondisinya. Pengalamannya menjadi pengingat akan pentingnya empati dan pemahaman terhadap mereka yang hidup dengan kondisi medis langka dan tak terlihat.
Hidup dalam Bayang-Bayang Bau Badan: Kisah Carmen Corr-Davies
Carmen Corr-Davies, kini berusia 28 tahun, pertama kali merasakan dampak kejam dari TMAU saat berusia 15 tahun. Seorang pemuda mengejeknya dengan keji, menyebut aroma tubuhnya seperti tinja.
Meskipun rajin mandi dan menjaga kebersihan, ejekan itu terus berlanjut. Ia dijuluki “si bau” dan bahkan mendapat penghinaan yang lebih kejam. Trauma psikologis pun menghantamnya.
Perjalanan Panjang Menuju Diagnosis Trimethylaminuria (TMAU)
Setelah bertahun-tahun menderita, Carmen akhirnya menemukan jawaban atas penderitaannya melalui pencarian di internet: Trimethylaminuria (TMAU), atau sindrom bau ikan.
Awalnya, dokter meragukan diagnosis tersebut, mengatakan bahwa Carmen mengalami gangguan psikologis dan berhalusinasi tentang bau badannya. Namun, kenyataan pahit terus menghantui Carmen.
Setelah menjalani serangkaian tes medis, diagnosis TMAU akhirnya terkonfirmasi. Carmen menggambarkan aroma tubuhnya sebagai campuran kotoran, karet terbakar, urine yang sangat kuat, hingga telur busuk – semua itu meskipun ia mandi berjam-jam.
Mengelola TMAU dan Menghadapi Stigma Sosial
TMAU disebabkan oleh kelainan gen FMO3, yang menghambat kemampuan tubuh memecah trimetilamina, senyawa yang terbentuk setelah mengonsumsi makanan tinggi protein. Akumulasi trimetilamina dalam tubuh kemudian dilepaskan melalui kulit dan napas, menyebabkan bau tak sedap.
Menurut Metabolic Support UK, hanya sekitar 100 kasus TMAU yang tercatat, namun angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak terdiagnosis. Kondisi ini lebih umum terjadi pada perempuan dan gejalanya seringkali memburuk saat pubertas.
Sayangnya, hingga kini belum ada obat untuk TMAU. Namun, gejalanya dapat dikendalikan dengan mengatur pola makan. Carmen harus membatasi konsumsi makanan tertentu untuk mengurangi intensitas bau.
Akibat perundungan yang brutal dan hinaan daring, Carmen memilih mengasingkan diri di rumahnya di Manchester. Ia menarik diri dari kehidupan sosial dan bahkan berhenti kuliah karena perundungan berlanjut.
Selama delapan tahun, Carmen hampir selalu menghabiskan waktu di dalam rumah karena rasa malu yang mendalam. Banyak hal yang harus ia korbankan, termasuk hobinya seperti menari dan balet.
Sekarang, ia hanya menghabiskan waktu bersama anaknya yang berusia lima tahun. Namun, Carmen bertekad untuk membangun kembali kepercayaan dirinya agar bisa mengajak anaknya bermain di luar dan bersosialisasi kembali.
Pengalaman pahit yang dialaminya telah mengajarkan Carmen pentingnya kebaikan dan empati. Ia berharap kisahnya dapat menginspirasi orang lain untuk lebih peka terhadap mereka yang hidup dengan kondisi medis langka dan tak terlihat.
Kisah Carmen adalah pengingat akan pentingnya dukungan sosial dan pemahaman terhadap individu yang hidup dengan kondisi medis langka. Harapannya, kesadaran yang lebih luas dapat membantu mengurangi stigma dan isolasi sosial yang dialami oleh banyak penderita TMAU.